Kamis, 18 Februari 2016

Masalah Lingkungan Hidup; Kendala Pengelolaan dan Lemahnya Regulasi




A. Masalah Lingkungan Hidup
Perubahan ekosistem lingkungan yang paling utama disebabkan oleh perilaku masyarakat yang kurang baik dalam pemanfaatan sumber-sumber daya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya perubahan ekosistem. Perubahan ekosistem suatu lingkungan terjadi dengan adanya kegiatan masyarakat seperti pemanfaatan lahan yang dijadikan sebagai daerah pertanian, ataupun kelompok pengusaha perkebunan yang melakukan usaha perkebunan dan hutan tanaman industry tanpa perlindungan lingkungan, sehingga dapat mengurangi luas lahan dan mengubah kondisi bentang lahan lainnya. Selain itu, adanya pertambahan jumlah penduduk dalam memanfaatkan lingkungan akan membawa dampak bagi mata rantai yang ada dalam suatu ekosistem (ekosistem=system ekologi).
Selain itu kerusakan hutan yang terjadi karena adanya penebangan dan kebakaran hutan dapat mengakibatkan banyak hewan dan tumbuhan yang punah. Padahal hutan merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, tempat penyedia makanan dan obat-obatan. Jumlah kerusakan flora dan fauna akan terus bertambah dan berlangsung lama jika dalam penggunaannya masyarakat tidak memperhatikan keseimbangan terhadap ekosistem lingkungan. Dampak dari perubahan ekosistem akan berkurang jika masyarakat mengetahui dan memahami fungsi dari suatu ekosistem tersebut. Kerusakan ekosistem membawa dampak bukan hanya pada keanekaragaman terhadap flora dan fauna juga dapat mmbawa pengaruh lain terhadap masyarakat itu sendiri seperti longsor, banjir dan erosi. Selain itu kerusakan lingkungan bisa di sebabkan oleh sampah. Sampah yang semakin banyak dapat menimbulkan penguapan sungai dan kehabisan zat asam yang sangat dibutuhkan bagi mikroorganisme yang hidup di sungai. Serta dapat pula disebabkan dari pembuangan limbah cair dari kapal dan pemanfaatan terhadap penggunaan air panas yang dapat menimbulkan laut menjadi tercemar.

B. Terjadinya Penurunan Kualitas Lingkungan Hidup

Ada dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab yang bersifat langsung, merupakan bentuk implementasi dan kegiatan manusia diantaranya ulah/altifitas penduduk setempat yang terpaksa mengeksploitasi hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan,.
Faktor penyebab bersifat tidak langsung meliputi;
1. Pertambahan Penduduk.
Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yang pada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar.
2. Dampak Industrialisasi.
Dalam proses industrialisasi saat ini antara lain termasuk industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya. Inilah awal mula eksploitasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak kalangan terlibat di dalamnya. Keuntungan yang demikian besar dalam bisnis perkayuan telah mengundang banyak pengusaha besar terjun di bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pengawasan, banyak aturan di bidang pengusahaan hutan termasuk bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup diabaikan dan dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi semacam “mafia” perkayuan. Semua ini terjadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum birokrasi dan oknum keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penduduk setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian dari mereka turut terlibat dalam proses “illegal logging” tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi sekarang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlimpah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan mata hati/dan moral oknum-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas betapa pentingnya manfaat hutan dan lingkungan hidup yang lestari, untuk kehidupan semua makhluk, khususnya manusia generasi sekarang dan yang akan datang.
3. Alih Fungsi Lahan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri
Alih fungsi lahan terjadi diberbagai daerah, mulai dari kawasan permukiman perkotaan, perdesaan hingga kawasan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Semua dilatarbelakangi untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan. Berbagai pihak kepentingan dan swasta melakukan komunikasi dan upaya investasi untuk mewujudkan hal tersebut. Kawasan daeran resapan berubah menjadi kawasan perumahan mengakibatkan banjir, dibangunnya Mal dan aneka pabrik industri, kawasan pertanian dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet, selain itu menjadi kawasan tanaman industri (HTI) dan sebagainya. Perubahan fungsi lahan tentunya tanpa disadari dapat dinikmati namun dalam jangka panjang menjadi masalah lingkungan hidup.
4. Lemahnya Penegakan Hukum.
Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan khususnya hutan, namun implementasinya di lapangan seakan-akan tidak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. UU No.32 Tahun 2009 dinilai masih Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah melemahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendahnya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin maraknya perusakan hutan/lingkungan.
5. Kesadaran Masyarakat yang Rendah.
Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup.
6. Pencemaran Lingkungan dan Banjir.
Pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru semakin memprihatinkan. Disiplin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tempatnya. Para pelaku industri cenderung tidak mengelola sampah industri dengan baik berdasarkan ketentuan minimum. Pencemaran udara semakin meningkat tajam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu lalang semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan itu sendiri. Dengan terjadinya lonjakan jumlah kendaraan, akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dampaknya akan terjadi lonjakan tingkat pencemaran udara yang luar biasa. Sementara terkait banjir, pengubahan lahan, kepadatan pemukiman penyebab tertutupnya lahan,  erosi dan sedimentasi yang terjadi diberbagai kawasan perkotaan dan perdesaan karena perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia yang mengubah dan merusak sehingga menghilangkan  kawasan-kawasan tangkapan air/resapan air.

C. Masih Lemahnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengendalian dan penanganan masalah lingkungan hidup sangat kompleks dan pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat komperehensif dan menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar hukum yang jelas dan menyeluruh, sehingga diperoleh suatu kepastian hukum (Siswanto Sunarso, 2005:31). Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1997 yang dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah pengelolaan lingkungan.
UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2) bahwa” pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak di ikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal pembangunan.
Selain itu, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UUPPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.
Hal yang perlu di perhatikan bahwa komitmen pemerintah daerah dalam masalah lingkungan hidup masih kurang, seperti dalam hasil survey sekitar sepuluh tahun lalu yang dilakukan oleh Sugeng Suryadi Syndicat tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala daerah kurang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47% kepala daerah kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak peduli, cukup peduli 37% dan sangat peduli hanya berkisar 6,4%. Dalam pelaksanaannya biokrasi memerlukan komitmen yang tinggi dalam semua tatanan, mulai dari perumusan kebijakan sampai pada pelaksanaan operasional dilapangan. Perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan biokrasi pada semua level. Sehingga apa yang yang sudah dirumuskan pada tingkat kebijakan dapat dilaksanakan ditingkat operasional. Para politisi, aparat birokrat dan masyarakat bersama-sama perlu memahami biokrasi dan tahu bagaimana melaksanakannya.
Kalau melihat dalam pasal 46, berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup”. Ketentuan ini akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.
Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66. Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan /atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan. Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan putusannya.
Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya di jabarkan secara rinci tetapi dalam pasal 98 dan 99 UUPPLH terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yg seharusnya ada selain itu, sanksi hukum dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi” setia orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta dalam pasal 102 UUPPLH berbunyi” setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Hal ini justru menunjukkan ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108 UUPPLH.
Di Pasal 108 UUPLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini bisa menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenagan dalam penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat (perorangan) yang luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa “ Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Dan dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana yang dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik baru.

D.Upaya-Upaya Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Hidup 
Untuk menanggulangi masalah kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup perlu diadakan konservasi. Konservasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memelihara lingkungan mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat sampai bangsa. Pengelolaan sumber daya alam merupakan usaha secara sadar dengan cara menggali sumber daya alam, tetapi tidak merusak sumber daya alam lainnya, sehingga dalam penggunaannya harus memperhatikan pemeliharaan dan perbaikan kualitas dari sumber daya alam tersebut. Apabila lingkungan tercemar maka akan berdampak buruk bagi kelanjutan dari keberadaan sumber daya alam yang akhirnya dapat menurunkan kehidupan masyarakat.
Dalam pengelolaan sumber daya alam perlu diperhatikan keserasiannya dengan lingkungan. Keserasian lingkungan merupakan proses pembentukan lingkungan yang sifatnya relatif sama dengan pembentukan lingkungan. Pengelolaan sumber daya alam agar berkelanjutan perlu diadakannya pelestarian terhadap lingkungan tanpa menghambat kemajuan. Pada umumnya permasalahan yang terjadi dapat diatasi dengan cara-cara diantaranya; Menerapkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan pada pengelolaan sumber daya alam baik yang dapat maupun yang tidak dapat diperbaharui dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya. Untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan sumber daya alam maka diperlukan penegakan hokum secara adil dan konsisten. Selain itu, memberikan kewenangan dan tanggung jawab secara bertahap terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap dapat dilakukan dengan cara membudayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi. Untuk mengetahui keberhasilan dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan penggunaan indicator harus diterapkan secara efektif serta mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Selain itu, dalam pengelolaan sumber daya alam agar tetap lestari, maka dapat dilakukan usaha atau upaya a.l; Menjaga kawasan tangkapan hujan seperti kawasan pegunungan yang harus selalu hijau karena daerah pegunungan merupakan sumber bagi perairan di darat. Selain itu, untuk mengurangi aliran permukaan serta untuk meningkatkan resapan air sebagia air tanah, maka diperlukan pembuatan lahan dan sumur resapan. Reboisasi di daerah pegunungan, dimana daerah tersebut berfungsi sebagai reservoir air, tata air, peresapan air, dan keseimbangan lingkungan. Dilain sisi, sebelum melakukan pengolahan diperlukan adanya pencegahan terhadap pembuangan air limbah yang banyak dibuang secara langsung ke sungai. Adanya pengendalian terhadap penggunan sumber daya alam secara berlebihan.
Pada kawasan perkotaan dan pemukiman, akibat adanya kegiatan, diperlukan penghijauan di setiap tepi jalan raya, pemukiman penduduk, perkantoran, dan pusat-pusat kegiatan lain. Adanya pengendalian terhadap kendaraan bermotor yang memiliki tingkat pencemaran tinggi sehingga menimbulkan polusi. Pada kasus Reklamasi lahan pada daerah yang sebelumnya dijadikan sebagai daerah penggalian pertambangan dan pengelolaan Daur Ulang Sumber Daya alam. Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dikurangi dengan cara melakukan pengembangan usaha seperti mendaur ulang bahan-bahan yang sebagian besar orang menganggap sampah, sebenarnya dapat dijadikan barang lain yang bisa bermanfaat dan tentunya dengan pengolahan yang baik. Pengelolaan limbah sangat efisien dalam upaya untuk mengatasi masalah  lingkungan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pengelolaan limbah dengan menggunakan konsep daur ulang diantaranya; Melakukan pengelompokan dan pemisahan limbah terlebih dahulu, Pengelolaan limbah menjadi barang yang bermanfaat serta memilki nilai ekonomis dan dalam pengolahan limbah juga harus mengembangkan penggunaan teknologi.

E. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup
Berbagai upaya strategi dan kebijakan untuk menunjang pembangunan lingkungan hidup, meliputi; Meningkatkan fungsi dan peranan Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi untuk menjamin kemitraan dengan stakeholders, Meningkatkan fungsi koordinasi, pembinaan pengawasan dan pemantauan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi, Mengembangkan kapasitas dan kualitas SDA aparatur melalui pendidikan dan pelatihan teknis untuk mendukung pelaksanaan tupoksi Badan Lingkungan Hidup Daerah, Menjalin kerja sama yang erat dengan instansi teknis terkai untuk mendukung pengembangan peran operasional Badan Lingkungan Hidup Daerah, Strategi pendekatan kapasitas daya dukung (Carrying capacity approach), Pengelolaan pada limbah yang sudah terbentuk (End of pipe treatment), Produksi bersih (Cleaner Production), Menerapkan strategi preventif secara kontinu terhadap proses dan produk untuk mengurangi terjadinya risiko pencemaran pada manusia dan lingkungan, Tidak mengunakan bahan B-3, Menghemat pemakaian bahan baku dan energi serta mereduksi jumlah dan toksisitas emisi serta buangan (eko-efisiensi) Mereduksi dampak yang timbul di seluruh daur hidup produk (life cycle of the product) mulai dari bahan baku sampai pembuangan limbah dan Menerapkan teknologi bersih dengan mengubah sikap dan perilaku agar sadar lingkungan
Selain itu, perlunya kebijakan pembangunan Lingkungan Hidup meliputi; Meningkatnya upaya pengendalian pengelolaan limbah akibat kegiatan industri, Meningkatnya upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan, Mengarusutamakan (Mainsteaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan, Pengembangan sisitem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya alam disertai dengan penegakan hukum yang tepat dan Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai control social dalam membantu kualitas lingkungan hidup.
Demikian.

Penulis: DR. Ligal Sebastian, ST, M.Si.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar