A. Masalah Lingkungan Hidup
Perubahan
ekosistem lingkungan yang paling utama disebabkan oleh perilaku masyarakat yang
kurang baik dalam pemanfaatan sumber-sumber daya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya perubahan ekosistem.
Perubahan ekosistem suatu lingkungan terjadi dengan adanya kegiatan masyarakat
seperti pemanfaatan lahan yang dijadikan sebagai daerah pertanian, ataupun
kelompok pengusaha perkebunan yang melakukan usaha perkebunan dan hutan tanaman
industry tanpa perlindungan lingkungan, sehingga dapat mengurangi luas lahan dan
mengubah kondisi bentang lahan lainnya. Selain itu, adanya pertambahan jumlah penduduk
dalam memanfaatkan lingkungan akan membawa dampak bagi mata rantai
yang ada dalam suatu ekosistem (ekosistem=system
ekologi).
Selain
itu kerusakan hutan yang terjadi karena adanya penebangan dan kebakaran hutan
dapat mengakibatkan banyak hewan dan tumbuhan yang punah. Padahal hutan
merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat yang berfungsi sebagai
penghasil oksigen, tempat penyedia makanan dan obat-obatan. Jumlah kerusakan
flora dan fauna akan terus bertambah dan berlangsung lama jika dalam
penggunaannya masyarakat tidak memperhatikan keseimbangan terhadap ekosistem
lingkungan. Dampak dari perubahan ekosistem akan berkurang jika masyarakat
mengetahui dan memahami fungsi dari suatu ekosistem tersebut. Kerusakan
ekosistem membawa dampak bukan hanya pada keanekaragaman terhadap flora dan
fauna juga dapat mmbawa pengaruh lain terhadap masyarakat itu sendiri seperti
longsor, banjir dan erosi. Selain itu kerusakan
lingkungan bisa di sebabkan oleh sampah. Sampah yang semakin banyak dapat
menimbulkan penguapan sungai dan kehabisan zat asam yang sangat dibutuhkan bagi
mikroorganisme yang hidup di sungai. Serta dapat pula disebabkan dari pembuangan
limbah cair dari kapal dan pemanfaatan terhadap penggunaan air panas yang dapat
menimbulkan laut menjadi tercemar.
B. Terjadinya Penurunan Kualitas Lingkungan Hidup
Ada dua
faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang
bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor
penyebab yang bersifat langsung, merupakan bentuk implementasi dan kegiatan
manusia diantaranya ulah/altifitas penduduk setempat yang terpaksa
mengeksploitasi hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan.
Sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan
terhadap kerusakan lingkungan,.
Faktor penyebab bersifat tidak langsung meliputi;
1. Pertambahan Penduduk.
Penduduk
yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan
atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia
mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yang pada
gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara
liar.
2. Dampak
Industrialisasi.
Dalam proses industrialisasi saat ini antara lain termasuk
industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri
tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya.
Inilah awal mula eksploitasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak
kalangan terlibat di dalamnya. Keuntungan yang demikian besar dalam bisnis
perkayuan telah mengundang banyak pengusaha besar terjun di bidang ini. Namun,
sangat disayangkan karena sulitnya pengawasan, banyak aturan di bidang
pengusahaan hutan termasuk bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
diabaikan dan dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi semacam “mafia”
perkayuan. Semua ini terjadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara
pengusaha, oknum birokrasi dan oknum keamanan. Sementara itu penduduk setempat
yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut penduduk
setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang
tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian dari
mereka turut terlibat dalam proses “illegal logging” tersebut. Masalah tersebut
di atas di era pemerintahan Orde Reformasi sekarang ini masih terus berlanjut,
bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak
dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlimpah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan
mata hati/dan moral oknum-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas
betapa pentingnya manfaat hutan dan lingkungan hidup yang lestari, untuk
kehidupan semua makhluk, khususnya manusia generasi sekarang dan yang akan
datang.
3. Alih Fungsi
Lahan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri
Alih fungsi
lahan terjadi diberbagai daerah, mulai dari kawasan permukiman perkotaan,
perdesaan hingga kawasan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Semua dilatarbelakangi
untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan. Berbagai pihak kepentingan dan
swasta melakukan komunikasi dan upaya investasi untuk mewujudkan hal tersebut.
Kawasan daeran resapan berubah menjadi kawasan perumahan mengakibatkan banjir,
dibangunnya Mal dan aneka pabrik industri, kawasan pertanian dan lahan gambut
menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet, selain itu menjadi kawasan tanaman
industri (HTI) dan sebagainya. Perubahan fungsi lahan tentunya tanpa disadari
dapat dinikmati namun dalam jangka panjang menjadi masalah lingkungan hidup.
4. Lemahnya Penegakan
Hukum.
Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat
berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan khususnya hutan, namun
implementasinya di lapangan seakan-akan tidak tampak, karena memang faktanya
apa yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. UU No.32
Tahun 2009 dinilai masih Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam
setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di
pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam
sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah melemahkan proses peradilan
atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan peradilan masalah
lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan
hukum sebagai akibat rendahnya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak
hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin maraknya
perusakan hutan/lingkungan.
5. Kesadaran
Masyarakat yang Rendah.
Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah
terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang
menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin
intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki
pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah
saatnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan
menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal
ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan
manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat
dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup.
6. Pencemaran
Lingkungan dan Banjir.
Pencemaran
lingkungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru semakin
memprihatinkan. Disiplin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar
semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tempatnya. Para pelaku
industri cenderung tidak mengelola sampah industri dengan baik berdasarkan
ketentuan minimum. Pencemaran udara semakin meningkat tajam di kota-kota besar,
metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu
lalang semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan itu
sendiri. Dengan terjadinya lonjakan jumlah kendaraan, akan menambah kemacetan
lalu lintas di kota besar. Dampaknya akan terjadi lonjakan tingkat pencemaran
udara yang luar biasa. Sementara terkait banjir, pengubahan lahan, kepadatan pemukiman penyebab tertutupnya
lahan, erosi dan sedimentasi yang terjadi diberbagai kawasan perkotaan
dan perdesaan karena perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia yang mengubah
dan merusak sehingga menghilangkan kawasan-kawasan tangkapan air/resapan air.
C. Masih
Lemahnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pengendalian
dan penanganan masalah lingkungan hidup sangat kompleks dan pemecahan
masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat komperehensif dan menjadi
tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di Indonesia,
pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar hukum yang jelas dan
menyeluruh, sehingga diperoleh suatu kepastian hukum (Siswanto Sunarso,
2005:31). Keluarnya Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1997 yang dianggap belum bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan
sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah
pengelolaan lingkungan.
UU No 32
Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini
penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan
semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan
lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun
masyarakat pada umumnya.Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal
yang perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2)
bahwa” pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian
informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan
dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan
bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang
dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4)
“masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal” juga tidak di ikuti penjelasan sehingga dapat
menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen
tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal
pembangunan.
Selain
itu, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan
instrumen baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Namun demikian, tidak
seperti halnya analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat
pelanggarannya, UUPPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah
atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.
Hal yang
perlu di perhatikan bahwa komitmen pemerintah daerah dalam masalah lingkungan
hidup masih kurang, seperti dalam hasil survey sekitar sepuluh tahun lalu yang
dilakukan oleh Sugeng Suryadi Syndicat tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala
daerah kurang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47% kepala
daerah kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak peduli, cukup peduli 37%
dan sangat peduli hanya berkisar 6,4%.
Dalam
pelaksanaannya biokrasi memerlukan komitmen yang tinggi dalam semua tatanan,
mulai dari perumusan kebijakan sampai pada pelaksanaan operasional dilapangan.
Perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan biokrasi pada semua level.
Sehingga apa yang yang sudah dirumuskan pada tingkat kebijakan dapat
dilaksanakan ditingkat operasional. Para politisi, aparat birokrat dan
masyarakat bersama-sama perlu memahami biokrasi dan tahu bagaimana
melaksanakannya.
Kalau
melihat dalam pasal 46, berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya
telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan
lingkungan hidup”. Ketentuan ini akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak
diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup jelas”,
padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan pencemarnya begitu saja dan
pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.
Pasal 66
dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66. Selengkapnya
pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara
perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal
ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini dimaksudkan
untuk melindungi korban dan /atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan
untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan
perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan
tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan merupakan kalimat
kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66.
Artinya diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66
masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan. Bahwa disidang peradilan
segala sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan
pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk
menentukan/menjatuhkan putusannya.
Dalam UU No.32
tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas
atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan
baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu
air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan
baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang
dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan
investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.
Unsur-unsur
perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya di jabarkan secara rinci
tetapi dalam pasal 98 dan 99 UUPPLH terdapat kesalahan fatal karena
diabaikannya (dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yg seharusnya ada
selain itu, sanksi hukum dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi” setia orang yang
melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan
hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta dalam pasal 102 UUPPLH
berbunyi” setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Hal ini justru menunjukkan
ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan
limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108
UUPPLH.
Di Pasal
108 UUPLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini bisa
menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenagan dalam penerapannya. Dalam
masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat (perorangan) yang
luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa “ Setiap orang
yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah)”. Dan dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana yang
dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan lokal yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas
lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis
varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api
ke wilayah sekelilingnya. Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat,
terutama masyarakat pedesaan bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan
konflik baru.
Untuk
menanggulangi masalah kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup perlu
diadakan konservasi. Konservasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memelihara
lingkungan mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat sampai bangsa.
Pengelolaan sumber daya alam merupakan usaha secara sadar dengan cara menggali
sumber daya alam, tetapi tidak merusak sumber daya alam lainnya, sehingga dalam
penggunaannya harus memperhatikan pemeliharaan dan perbaikan kualitas dari
sumber daya alam tersebut. Apabila lingkungan tercemar maka akan berdampak
buruk bagi kelanjutan dari keberadaan sumber daya alam yang akhirnya dapat
menurunkan kehidupan masyarakat.
Dalam
pengelolaan sumber daya alam perlu diperhatikan keserasiannya dengan
lingkungan. Keserasian lingkungan merupakan proses pembentukan lingkungan yang
sifatnya relatif sama dengan pembentukan lingkungan. Pengelolaan sumber daya
alam agar berkelanjutan perlu diadakannya pelestarian terhadap lingkungan tanpa
menghambat kemajuan. Pada umumnya permasalahan yang terjadi dapat diatasi
dengan cara-cara diantaranya; Menerapkan penggunaan teknologi yang ramah
lingkungan pada pengelolaan sumber daya alam baik yang dapat maupun yang tidak
dapat diperbaharui dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya. Untuk
menghindari terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan sumber daya alam
maka diperlukan penegakan hokum secara adil dan konsisten. Selain itu, memberikan
kewenangan dan tanggung jawab secara bertahap terhadap pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup serta Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup secara bertahap dapat dilakukan dengan cara membudayakan masyarakat dan
kekuatan ekonomi. Untuk mengetahui keberhasilan dari pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup dengan penggunaan indicator harus diterapkan secara
efektif serta mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi
permasalahan lingkungan global.
Selain
itu, dalam pengelolaan sumber daya alam agar tetap lestari, maka dapat
dilakukan usaha atau upaya a.l; Menjaga kawasan tangkapan hujan seperti kawasan
pegunungan yang harus selalu hijau karena daerah pegunungan merupakan sumber
bagi perairan di darat. Selain itu, untuk mengurangi aliran permukaan serta
untuk meningkatkan resapan air sebagia air tanah, maka diperlukan pembuatan
lahan dan sumur resapan. Reboisasi di daerah pegunungan, dimana daerah tersebut
berfungsi sebagai reservoir air, tata air, peresapan air, dan keseimbangan
lingkungan. Dilain sisi, sebelum melakukan pengolahan diperlukan adanya
pencegahan terhadap pembuangan air limbah yang banyak dibuang secara langsung
ke sungai. Adanya pengendalian terhadap penggunan sumber daya alam secara
berlebihan.
Pada
kawasan perkotaan dan pemukiman, akibat adanya kegiatan, diperlukan penghijauan
di setiap tepi jalan raya, pemukiman penduduk, perkantoran, dan pusat-pusat
kegiatan lain. Adanya pengendalian terhadap
kendaraan bermotor yang memiliki tingkat pencemaran tinggi sehingga menimbulkan
polusi. Pada kasus Reklamasi lahan pada daerah yang sebelumnya
dijadikan sebagai daerah penggalian pertambangan dan pengelolaan Daur Ulang
Sumber Daya alam. Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dikurangi
dengan cara melakukan pengembangan usaha seperti mendaur ulang bahan-bahan yang
sebagian besar orang menganggap sampah, sebenarnya dapat dijadikan barang lain
yang bisa bermanfaat dan tentunya dengan pengolahan yang baik. Pengelolaan
limbah sangat efisien dalam upaya untuk mengatasi masalah lingkungan. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan dalam pengelolaan limbah dengan menggunakan konsep daur
ulang diantaranya; Melakukan pengelompokan dan pemisahan limbah terlebih dahulu,
Pengelolaan limbah menjadi barang yang bermanfaat serta memilki nilai ekonomis
dan dalam pengolahan limbah juga harus mengembangkan penggunaan teknologi.
E.
Strategi dan Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup
Berbagai
upaya strategi dan kebijakan untuk menunjang pembangunan lingkungan hidup,
meliputi; Meningkatkan
fungsi dan peranan Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi untuk menjamin
kemitraan dengan stakeholders, Meningkatkan fungsi koordinasi, pembinaan pengawasan
dan pemantauan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi, Mengembangkan
kapasitas dan kualitas SDA aparatur melalui pendidikan dan pelatihan teknis
untuk mendukung pelaksanaan tupoksi Badan Lingkungan Hidup Daerah, Menjalin
kerja sama yang erat dengan instansi teknis terkai untuk mendukung pengembangan
peran operasional Badan Lingkungan Hidup Daerah, Strategi pendekatan kapasitas daya dukung (Carrying capacity approach), Pengelolaan pada limbah yang sudah
terbentuk (End of pipe treatment), Produksi
bersih (Cleaner Production), Menerapkan
strategi preventif secara kontinu terhadap proses dan produk untuk mengurangi
terjadinya risiko pencemaran pada manusia dan lingkungan, Tidak mengunakan
bahan B-3, Menghemat pemakaian bahan baku dan energi serta mereduksi
jumlah dan toksisitas emisi serta buangan (eko-efisiensi) Mereduksi dampak yang
timbul di seluruh daur hidup produk (life
cycle of the product) mulai dari bahan baku sampai pembuangan limbah dan Menerapkan teknologi bersih dengan mengubah
sikap dan perilaku agar sadar lingkungan
Selain itu, perlunya kebijakan pembangunan Lingkungan
Hidup meliputi; Meningkatnya upaya pengendalian pengelolaan limbah akibat
kegiatan industri, Meningkatnya upaya pengendalian dampak lingkungan akibat
kegiatan pembangunan, Mengarusutamakan (Mainsteaming)
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan, Pengembangan sisitem
pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya alam disertai dengan
penegakan hukum yang tepat dan Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada
isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai control social dalam membantu
kualitas lingkungan hidup.
Demikian.
Penulis:
DR. Ligal Sebastian, ST, M.Si.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar