Latar Belakang
Hutan sebagai sumber daya alam yang terbarukan, memiliki berbagai manfaat
penting bagi keberlangsungan hidup mahluk hidup. Pengelolaan hutan yang baik
harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, pengelola hutan,
dan stakeholders serta lingkungan sekitarnya. Tidak hanya itu,
pengelolaan hutan yang baik juga harus memperhatikan aspek-aspek kelestarian
hutan, seperti aspek ekologi, produksi, serta sosial ekonomi dan budaya
masyarakat sekitar hutan. Hutan
mempunyai fungsi yang beraneka ragam, antara lain sebagai penghasil kayu dan
hasil-hasil hutan lainnya serta sebagai pelindung lingkungan dan penyangga
kehidupan yang mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah banjir
dan tanah longsor, mencegah erosi, dan lain, lain.
Kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu
ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak
batas, dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan
hutan menjadi kawasan hutan tetap. Selain itu, untuk menjaga dan mengamankan
keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal,
regional dan nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional,
nasional dan global.
Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai akses
langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan, serta memanfaatkan
sumber daya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini
tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan.
Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh
faktor teknis semata, namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena
itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis
pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat,
2005). Kebijakan pembangunan kehutanan di
satu sisi dapat meningkatkan devisa negara, namun di sisi lain telah
menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kerusakan
Hutan
Seiring
dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, selama hampir dua
dasawarsa terakhir, eksploitasi hutan semakin meningkat dan menyebabkan laju kerusakan hutan di Indonesia cenderung semakin meluas. Selain kebakaran hutan, pembalakan liar (illegal loging) adalah
penyebab terbesar kerusakan hutan. Kejahatan hutan telah melibatkan banyak pihak dan
dilakukan secara terorganisir serta sistematis yang bukan hanya terjadi di kawasan
produksi, tetapi sudah
merambah ke kawasan lindung dan taman nasional.
Indonesia
merupakan pemilik hutan hujan tropis ketiga di dunia dengan luas kawasan
mencapai 130,68 juta hektare. Namun, laju deforestasi hutan yang sangat cepat
membuat luas hutan berkurang. Setiap tahunnya deforestasi dan degradasi hutan
berada di angka 450 ribu hektare. Kerusakan hutan
memiliki dampak seperti bencana tanah longsor, kekeringan, banjir, global
warming dan rusaknya lapisan ozon serta punahnya kekayaan flora dan fauna.
Untuk itu hutan perlu dilindungi, dikonservasi dan direboisasi. Langkah utama yang diambil untuk mengurangi kerusakan
hutan yakni dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan. Disamping itu,
penindakan tegas juga harus dilakukan agar kerusakan hutan tidak meluas.
Gambar 1.Hutan rusak, terlihat hijau namun di tengahnya gundul.
Hutan Indonesia berkurang secara drastis, dalam kurun waktu 2009-2013 Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas
Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta. Forest
Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan tersebut dalam buku Potret
Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 yang diluncurkan pada Kamis, 11/12/2014 di Jakarta. EG Togu Manurung, Ketua
Perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya
hutan mengejutkan, karena setiap menit,
hutan seluas tiga lapangan bola hilang. Hutan Indonesia
yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6
juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di
Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa
Tenggara. Selain itu, kondisi perusakan hutan terparah
terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta
sektor tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut. Meski
demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa hutan di
wilayah Papua sudah mengalami kerusakan. Ini harus dicegah supaya pola yang
terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur karena
Papua benteng terakhir hutan Indonesia.
Sementara, Christian
Purba, Direktur FWI mengungkapkan apabila praktik tata
kelola lahan hutan tidak berubah dan
pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. Diprediksi 10 tahun ke depan hutan di Riau akan
hilang diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi.
Laju deforestasi yang sedemikian
besar tersebut antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat,
pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan,
over cutting, dan penebangan kayu secara tidak sah (illegal logging),
perburuan satwa liar tanpa izin, penjarahan, perambahan, okupasi lahan, dan
kebakaran hutan. Laju
deforestasi yang tinggi tersebut menghadirkan kekhawatiran yang mendalam
terhadap masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia. Kerusakan sumber daya
hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan telah menimbulkan
dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sangat serius. Secara ekonomi
kerugian yang timbul sebagai dampak kerusakan akibat pembalakan liar pasti jauh
melebihi nilai kayu yang dibalak. Kerugian negara akibat pembalakan liar
berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 30,3 triliun per
tahun (Kompas.com, Selasa, 21 Juni 2011). Sementara itu, sumber dari sindonews.com (21/02/2015) mengungkapkan bahwa Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menjelaskan bahwa Kerusakan
hutan di Indonesia mencapai 450 ribu hektare pertahun. Kondisi ini cukup
memprihatinkan karena masalah tersebut akan memicu bencana lain seperti
pemasanan global. Para perusak
hutan dianggap sama dengan kejahatan teroris, oleh sebab itu prilaku pembalakan hutan liar kita
kategorikan sebagai kejahatan teroris.
Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Pembalakan liar (illegal
logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang
tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Istilah
pembalakan muncul karena kejahatan yang terjadi lebih kompleks antara lain
adanya penebangan hutan dengan merusak alam yang disertai pula kerusakan
ekosistem yang lain dan kegiatan itu dilakukan tanpa adanya ijin dari pihak
yang berwenang. Serta adanya kegiatan mengangkut, menjual hasil hutan, serta
keuntungan dari hasil penjualan digunakan untuk kegiatan pribadi, dimana
kegiatan itu merugikan pemerintah.
Definisi lain dari Illegal logging atau pembalakan liar yaitu segala
aktivitas yang berkaitan dengan penebangan kayu yang dilakukan tanpa mengikuti
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan
pembalakan liar tidak berdiri sendiri, namun saling kait- mengait dalam suatu
jaringan bisnis kayu ilegal yang melibatkan para pemodal (cukong) pembalak
kayu, pengusaha transportasi kayu, pedagang kayu, industri pengolahan kayu, dan
oknum aparat penegak hukum. Pembalakan liar meliputi semua
tindakan ilegal yang berhubungan dengan ekosistem hutan, demikian juga industri
yang berhubungan dengan hutan dan hasil hutan kayu serta non-kayu. Kegiatan tersebut merupakan tindakan
yang melanggar hak-hak atas lahan hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan
konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh tahap pengelolaan hutan dan
rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga penebangan dan
pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan.
Gambar 2. Peran Oknum
Perusahaan
Forest watch Indonesia dan Global Forest Watch berpendapat bahwa selain Illegal Logging ada
juga istilah pembalakan liar, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan
yang merusak. Semua praktek
atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan, dan
perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Pada
hakikatnya, pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan
penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak
memiliki izin dari otoritas setempat.. Dimensi dari kegiatan illegal
logging, meliputi: (1)
perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau
izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak
menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada
lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul
lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,apabila kayunya sembarangan
jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu,
tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada
dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak
memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukumdibidang
kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen
maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.
Gambar 3. Illegal logging
Faktor- faktor Penyebab Pembalakan liar (illegal logging)
Praktek pembalakan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: (1)
penebangan liar (illegal logging)
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin, yang
kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada
penadah hutan, dan (2) penebangan liar (illegal
logging) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak
hutan seperti melakukan penebangan di luar konsesinya (over cuting), melanggar persyaratan sebagaimana yang ditetapkan
dalam konsensinya, kolusi dengan penjabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan
manipulasi kebijakan. Secara umum Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal:
1. Tingginya permintaan kebutuhan kayu
yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat
terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah tidak mampu mencukupi tingginya
permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu
di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam
negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar
negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan.
Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong
praktik illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.
2. Pemegang HPH tetap melakukan
penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan
dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal
logging.
3. Masih lemahnya
penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging.
Selama ini, praktik illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan
hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau
pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang
beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku walaupun
sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H). Di samping itu, disinyalir adanya oknum pejabat yang
justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal logging.
4. Tumpang tindih kebijakan pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah
wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah
diberlakukan, pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan
daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik
untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang
tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan.
Faktor-faktor penyebab lainnya
terkait pembalakan liar (illegal logging) meliputi;
1.
Faktor- faktor yang berkaitan dengan nilai- nilai masyarakat dan situasi
penduduk di desa- desa sekitar hutan, dipengaruhi unsur-unsur; Kebutuhan lapangan kerja dan
pendapatan, Pengaruh
tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara illegal, Ketidakpuasaan lokal atas kebijakan
kehutanan pusat, dan Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari.
2.
Faktor-faktor
ekonomi yang suplai dan permintaan normal berkaitan dengan industri penebangan
kayu dipengaruhi oleh unsur-unsur; Kebutuhan
kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri dan permintaan kayu dari luar
negeri, Kemampuan
pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan, tinggi rendahnya laba dari
perusahaan industri kayu dan Tinggi rendahnya laba dari
perusahaan industri kayu.
3. Faktor-faktor yang
berkaitan dengan peran pengusaha dan pengaruhnya pada para politisi dan pejabat setempat. Bentuk pengaruh
seperti; Keuntungan
yang diperoleh dari pengusaha
kayu, Besarnya
pengaruh pengusaha kayu dan bos-bos penebangan tehadap penjabat
lokal, Besarnya
partisipasi penjabat lokal dan banyaknya kerja sama illegal yang
dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau penjabat lokal.
Pelaku
Illegal Logging di Indonesia
Bank Dunia
mengungkapkan praktik pembalakan liar (illegal logging) di Indonesia dijalankan
oleh mafia. Dari pembalakan liar itu, organisasi kejahatan tersebut mengalirkan
sebagian keuntungannya kepada pejabat pemerintah yang korup. Hal itu
terungkap dari laporan analisis Bank Dunia terbaru, bertajuk Justice for Forests: Improving Criminal
Justice Efforts to Combat Illegal logging yang dipublikasikan pada 21 Maret
2012. Selain Indonesia, praktik seperti itu terjadi di banyak negara, termasuk
beberapa negara di Afrika Barat. Akibat pembalakan liar berskala besar, setiap tahun
Indonesia kehilangan Rp36 triliun dan kebanyakan kayu hasil pembalakan liar
itu diselundupkan ke Luar Negeri.
Ada tiga jenis pembalakan illegal. Pertama, yang
dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan
atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk
menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar
ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat, a.l;
1. Masyarakat biasa
Masyarakat biasa kerap menjadi pelaku illegal
logging. Masyarakat biasa yang dimaksud ialah masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan. Biasanya, mereka akan memanfaatkan hutan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, terutama kayu. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga
melakukan illegal logging untuk
membuka lahan sebagai tempat tinggal. Selain itu, masyarakat biasa juga dapat
sebagai pekerja ataupun buruh di suatu perusahaan/organisasi.
2. Kalangan Pejabat
Pejabat atau oknum pejabat dapat menjadi salah satu pelaku
utama dan terpenting dalam kasus illegal logging. Karena mereka memiliki
kekuasaan, sehingga adanya
kekuasaan yang disalahgunakan, mereka dapat memberi izin kepada para
pelaku pembalakan liar untuk menjalankan aksinya. Selain itu, kalangan pejabat sering menjadi “protector”
para cukong kayu untuk memuluskan aksinya. Hal inilah yang terkadang dapat
membuat para cukong kayu terbebas dari jeratan hukum. Dari pemberian izin yang
illegal ini, tentunya para pejabat terkait akan mendapatkan profit materi dari
para cukong kayu perusahaan terkait.
3. Industri/Perusahaan
Para industri dan perusahaan biasanya bergerak dalam bidang
manufaktur. Pada umumnya, alasan para industri/perusahaan melakukan Illegal Logging ialah untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industry/perusahaannya. Mereka biasanya akan mengadakan
kerja sama dengan kalangan tertentu untuk melancarkan aksinya. Tidak hanya
perusahaan/industri skala kecil saja yang terlibat, bahkan beberapa
perusahaan/industri skala besar juga turut melakukan illegal logging.
Dampak-dampak Illegal Logging
Pembalakan liar illegal logging adalah tindak
kejahatan terhadap hutan yang merugikan negara, tidak hanya secara ekonomi,
tetapi juga secara sosial, dan lingkungan. Potensi kerugian yang ditanggung
negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 triliun
per tahun. Ironisnya, praktik pembalakan liar telah memusnahkan hampir tiga
perempat hutan alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam
setahun setara dengan luas negara Swiss, yakni 41.400 kilometer persegi. Dari sudut pandang
sosial dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan
adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan
antara yang benar dan salah, serta antara baik dan buruk.
Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah
hilangnya sejumlah pohon tertentu, sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang
berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya
produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu
spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup
dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat
bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya
tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan
komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan
yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan, telah berubah peruntukanya yang berakibat pada
berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman
langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya
menjadi tidak berfungsi lagi.
Secara luas dampak
kerusakan sumber daya hutan akibat pembalakan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan,
dapat mencapai titik puncak kerusakan hutan, a.l;
1.
Kepunahan berbagai varietas hayati
Illegal logging
akan merusak bahkan menghilangkan habitat asli dari berbagai flora dan fauna.
Dengan rusaknya habitat mereka, maka mereka akan kesulitan untuk melangsungkan kehidupannya, seperti
kesulitan mencari makan akibat sumber makanan mereka yang ditebang, tidak
adanya tempat untuk berkembang biak dan sebagainya. Contoh nyata ialah populasi
orang hutan yang terancam punah, khususnya di Pulau Kalimantan yang diakibatkan
illegal logging dan pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan sawit. Selain
itu, populasi gajah Sumatera juga terancam punah akibat
pembalakan hutan.
2. Menimbulkan Bencana Alam
Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin
berkurang menyebabkan hutan tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun
dalam jumlah yang besar,sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah dan menyebabkan
banjir, seperti
bencana banjir bandang di Jakarta, Jambi, Aceh,
Sumsel, dan daerah lainnya. Banjir yang setiap tahunnya terjadi karena kurangnya daerah serapan air akibat alih fungsi
hutan menjadi pemukiman.
3. Menipisnya Cadangan Air
Salah satu fungsi hutan ialah tempat
cadangan air. Dengan semakin maraknya illegal
logging akan mengurangi eksistensi hutan, maka cadangan air bersih juga
akan berkurang. Itulah sebabnya, di Indonesia sering terjadi kekeringan air
khususnya pada musim kemarau.
4. Merusak Lapisan Tanah
Ketika
eksistensi hutan menurun, maka hutan akan tidak optimal untuk menjalankan
fungsinya menjaga lapisan tanah, sehingga akan memperbesar
probabilitas terjadi erosi yang nantinya dapat mengakibatkan lapisan tanah
hilang dan rusak.
5. Penyebab Global Warming
Global
warming membawa
dampak berupa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, seperti angin
puyuh/puting beliung, terjadi
ombak yang tinggi, dan sulitnya memprediksi cuaca yang mengakibatkan para
petani yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia sering mengalami
gagal panen. Global warming juga mengakibatkan semakin tingginya suhu
dunia, sehingga es di kutub mencair yang mengakibatkan pulau-pulau di dunia
akan semakin hilang terendan air laut yang semakin tinggi volumenya. Global
warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2
seperi hutan.
6. Berkurangnya Pendapatan Negara
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan
pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang
diakibatkan oleh illegal logging
mencapai Rp 35 trilyun per
tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja
kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tetapi lebih berdampak pada ekonomi
dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman
produk di masa depan (opprotunity cost).
7. Dari aspek sosial, illegal logging
menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta masyarakat adat
setempat. Sementara dari aspek budaya illegal logging dapat memicu
ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang pada khirnya akan dapat merubah
perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.
Meminimalisir
Illegal Logging di Indonesia
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum
dalam memberantas illegal logging disebabkan illegal logging
termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada actor
intelectualnya, ada pelaku/ buruh penebang kayu yang hanya
diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing
dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara
mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang membackingi, sehingga praktek illegal
logging sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang
dipidana bukan actor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti
penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang menjalankan kendaraannya yang ditangkap, sedangkan actor
intelektual sudah kabur.
Penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya
monitoring (deteksi), upaya pencegahan (preventif), dan upaya penanggulangan
(represif).
1. Deteksi illegal logging
Kegiatan-kegiatan deteksi mungkin saat
ini telah dilakukan, namun walaupun diketahui atau ada dugaan terjadi
kegiatan illegal logging tindak lanjutnya tidak nyata. Meski
demikian aksi untuk mendeteksi adanya illegal
logging tetap harus terus dilakukan, namun harus ada komitmen untuk
menindaklanjuti dengan proses penegakan hukum yang tegas dan nyata di lapangan.
Kegiatan deteksi dapat dilakukan melalui ; 1) Deteksi secara makro, misalnya
melalui potret udara sehingga diketahui adanya indikator penebangan liar seperti
jalur logging, base camp, dsb, 2) Ground checking dan patroli serta Inspeksi di
tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar, 3) Deteksi di sepanjang jalur-jalur
pengangkutan dan Inspeksi di
lokasi Industri, 4) Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang
datang dari masyarakat, dan 5) Pemeriksaan dokumen (ijin, angkutan
dan laporan) perlu lebih intensif, terutama dokumen laporan dengan meneliti
lebih seksama laporan-laporan yang mengandung kejanggalan-kejanggalan.
2. Prefentif illegal logging
Tindakan preventif merupakan
tindakan yang berorientasi ke depan yang sifatnya strategis dan merupakan
rencana aksi jangka menengah dan jangka panjang, namun harus dipandang sebagai
tindakan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Model penegakan hukum dengan sistem
komando dengan lebih meningkatkan koordinasi di antara aparat penegak hukum
yang terlibat di dalam penanganan tindak pidana illegal logging merupakan salah satu langkah awal yang dapat
ditempuh, selain melakukan inventarisasi akar masalah di lapangan, cakupan dan
jaringan, maupun modus operandi pelaku harus dapat diinventarisir karena hal
ini memudahkan untuk melakukan penangkapan dan melakukan langkah preventif
terhadap penanggulangan untuk melakukan tindak pidana. Kegiatan preventif dapat
dilakukan diantaranya melalui; 1) pemberdayaan
masyarakat seperti pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar
masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan
kepada pemerintah daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan, 2) Pengembangan
sosial ekonomi masyarakat dan program pemberdayaan masyarakat seperti
menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/ pendapatan yang melebihi upah
menebang kayu liar, 3) Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat
memberikan informasi yang menjadikan oknum/pelaku kejahatan
hutan dapat
ditangkap.
3. Tindakan represif
Tindakan represif merupakan tindakan
penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk
itu harus ada kesamaan persepsi antara masing-masing unsur penegak hukum yaitu
penyidik (Polri dan PPNS), jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya
permasalahan illegal logging, tindakan represif harus mampu
menimbulkan efek jera, sehingga pemberian sanksi hukum
harus tepat.
Beberapa
upaya penanggulangan tersebut juga dapat didukung dengan a.l;
1. Mengoptimalkan
pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir
jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang
dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan
penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap dokumen
yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini,
secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy
bagi para sopir truk dan pemodal. Selain itu, harus dilakukan patroli rutin di
daerah aliran sungai yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju
terminal akhir, tempat penampungan kayu.
2. Menelusuri
terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan biasanya tujuan itu
adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu. Upaya
ini dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal
logging. Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah
melakukan “penadahan”. Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh
perusahaan, yang dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan
tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
3. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (LHK) mendorong
dan memperkuat peran pemda provinsi maupun kabupaten/kota serta sektor lainnya
secara maksimal dalam menanggulangi illegallogging melalui
peningkatan keterpaduan sinergisitas pembangunan kehutanan dan pembangunan
wilayah.
4. Memobilisasi
berbagai sektor pembangunan untuk mengarahkan pembangunan pada daerah-daerah
rawan illegal logging dan gangguan hutan lainnya, agar dapat meredam
atau merealisasikan gejolak kebutuhan lapangan kerja dan usaha. Dilakukan pula
pelibatan masyarakat sipil/LSM lingkungan dalam pemberantasan illegal
logging dengan pendekatan kesejahteraan masyarakat melalui program social
forestry dan collaborative management, yang diharapkan dapat menjadi motor
penggerak ekonomi masyarakat setempat.
Tindak Pidana Pembalakan Liar
Perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak
luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus
operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat
sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif
dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu
menjamin efektivitas penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan telah
ada yaitu Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang dianggap
belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan
yang terorganisasi, sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H). Selain itu, adanya penerapan tindak
pidana terhadap kejahatan hutan sebagai kejahatan lingkungan hidup seperti yang
telah dimuat dalam UU No,32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup yang juga memuat sanksi pidana dan denda terkait kejahatan
lingkungan hidup.
Berikut sekilas daftar tindak pidana dalam rumusan
UU No. 18 Th 2013 ttg P3H;
Tabel 1. Kutipan Sekilas Tindak Pidana bidang kehutanan dalam UU No. 18 Th 2013 ttg P3H
Perbuatan Yang Dilarang
|
Sanksi Pidana
|
|||
Perseorangan
|
Perseorangan
Dalam/Sekitar Kawasan Hutan
|
Perusahaan
|
Pejabat
|
|
Menebang pohon dalam kawasan hutan:
a. tidak sesuai izin
(Pasal 12
huruf a)
b. tanpa memiliki izin pejabat berwenang (Pasal 12
huruf b)
c. secara tidak sah
(Pasal 12
huruf c)
|
Sengaja: Pidana Penjara
minimal 1 th maksimal 5 th serta
denda
min Rp. 500 jt mak Rp. 2,5
M(Pasal 82 (1))
|
Pidana Penjara
minimal 3 bln maksimal 2 th serta denda
min Rp.500 Rb
mak Rp.500 jt
(Pasal 82 (2))
|
Pidana Penjara
minimal 5 th maksimal 15 th
serta denda
min Rp. 5 M mak Rp. 15 M
(Pasal 82 (3))
|
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
|
Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki
hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin (Pasal 12 huruf d), mengangkut,
menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yg tidak dilengkapi SKSHH; dan/atau
(Pasal 12 huruf e)
|
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 th serta denda
min Rp. 500 jt mak Rp. 2,5
M(Pasal 83 (1))
Kelalaian:
Pidana Penjara
8 bln. s/d 3 th. serta denda Rp 10 jt s/d 1M
(Pasal 83 (2))
|
-
|
Pidana Penjara
minimal 5 th maksimal 15 th
serta denda
min Rp. 5 M mak Rp. 15 M
(Pasal 83 (4))
|
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
|
Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar
(Pasal 12 huruf h)
|
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 th serta denda
500 jt s/d 2.5 M
(Pasal 83 (1))
Kelalaian:
Pidana Penjara
8 bln. s/d 3 th. serta denda Rp 10 jt s/d 1M
(Pasal 83 (2))
|
Sengaja/lalai:
Pidana Penjara
Minimal 3 bln maksimal 2 th serta
denda min. Rp.500 rb mak. Rp. 1M (Pasal 83 (3))
|
Pidana Penjara
minimal 5 th maksimal 15 th
serta denda
min Rp. 5 M mak Rp. 15 M
(Pasal 83 (4))
|
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
|
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang
(Pasal 12 huruf f)
|
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 tahun serta denda 250 jt s/d 5 M
(Pasal 84 (1))
Lalai Pidana Penjara
8 bulan s/d 2 th serta denda 10 jt
s/d 1 M
(Pasal 84 (2))
|
Penjara
3 bulan s/d 2 th dan/atau denda Rp.10 jt s/d 1M
(Pasal 84 (3))
|
Penjara
minimal 5 th maksimal 15 th serta denda min. Rp.2 M mak. Rp. 15 M (Pasal 84 (4))
|
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
|
Sumber: UU No. 18 Th 2013 ttg P3H
Khusus untuk pejabat yaitu orang yang
diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan
suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa Setiap pejabat yang a.l; Menerbitkan
izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya; Menerbitkan
izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di
dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah; Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; Melakukan
permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah; Menerbitkan surat keterangan sahnya
hasil hutan tanpa hak; dan/atau dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan
tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah, maka dapat dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
PENUTUP
1. Illegal logging merupakan salah satu kasus besar di sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia, karena telah menimbulkan dampak
negatif yang secara langsung maupun tidak langsung merusak keberlanjutan sumberdaya alam.
Pembalakan hutan secara liar
(illegal logging) merupakan gejala yang muncul akibat berbagai
permasalahan yang sangat kompleks melibatkan banyak pihak dari berbagai lapisan di masyarakat lokal.
2. Upaya penangganan kasus tindak
pidana kehutanan yang telah dilakukan pemerintah dirasa masih sangat perlu dioptimalkan. Hal ini berdasarkan
indikasi-indikasi antara lain; (1) Semakin tingginya laju
kerusakan hutan, dan (2) proses penegakan hukum yang masih belum memiliki
kemampuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku terutama (mastermind)
dari tindak pidana illegal logging.
3. Kegiatan preventif dapat dilakukan sebagai solusi jangka panjang meliputi; 1) pemberdayaan masyarakat seperti
pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar masyarakat dapat
ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan kepada pemerintah
daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan, 2) Pengembangan
sosial ekonomi masyarakat dan program pemberdayaan masyarakat
seperti menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/pendapatan yang melebihi upah
menebang kayu liar, 3) Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat
memberikan informasi adanya oknum/pelaku kejahatan
hutan dan lingkungan hidup.
4. Pemberantasan
illegal logging bukanlah tanggung
jawab aparat keamanan dan pemerintah pusat/daerah saja, namun seluruh komponen lapisan masyarakat termasuk dunia usaha/korporasi. Masyarakat bisa menjadi kontrol sosial dan
berpartisipasi aktif dalam memberantas illegal logging. Oleh sebab itu, semua pihak harus berperan dalam
meminimalisir illegal logging, karena tanpa kerjasama antara
pihak pemerintah dan masyarakat, maka kejahatan
hutan akan sulit
untuk diminimalisir.
DAFTAR
PUSTAKA
Dodik Ridho Nurrochmat dan M. Fadhil
Hasan, Ekonomi Politik Kehutanan, Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan,
Indef 2012.
Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia
Periode Tahun 2000 – 2009, Edisi Pertama 2011.
Statistik Kehutanan Indonesia 2011,
Kementerian Kehutanan, Jakarta 2012.
Suparmoko, M., Ekonomi Sumber Daya
Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekaan Teoritis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Gajah Mada, BPFE-Yogyakarta, 2012.
Teguh Sudarsono, Penegakan Hukum dan
Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal logging, Jurnal Hukum No. 1 Vol.
17 Januari 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar