Kamis, 18 Februari 2016

HUTAN DAN PEMBALAKAN LIAR (illegal logging)





Latar Belakang
Hutan sebagai sumber daya alam yang terbarukan, memiliki berbagai manfaat penting bagi keberlangsungan hidup mahluk hidup. Pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, pengelola hutan, dan stakeholders serta lingkungan sekitarnya. Tidak hanya itu, pengelolaan hutan yang baik juga harus memperhatikan aspek-aspek kelestarian hutan, seperti aspek ekologi, produksi, serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Hutan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, antara lain sebagai penghasil kayu dan hasil-hasil hutan lainnya serta sebagai pelindung lingkungan dan penyangga kehidupan yang mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah banjir dan tanah longsor, mencegah erosi, dan lain, lain.
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas, dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Selain itu, untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global.  
Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai akses langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan, serta memanfaatkan sumber daya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan. Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh faktor teknis semata, namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat, 2005). Kebijakan pembangunan kehutanan di satu sisi dapat meningkatkan devisa negara, namun di sisi lain telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kerusakan Hutan
Seiring dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, selama hampir dua dasawarsa terakhir, eksploitasi hutan semakin meningkat dan menyebabkan laju kerusakan hutan di Indonesia cenderung semakin meluas. Selain kebakaran hutan, pembalakan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan. Kejahatan hutan telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis yang bukan hanya terjadi di kawasan produksi, tetapi sudah merambah ke kawasan lindung dan taman nasional.
Indonesia merupakan pemilik hutan hujan tropis ketiga di dunia dengan luas kawasan mencapai 130,68 juta hektare. Namun, laju deforestasi hutan yang sangat cepat membuat luas hutan berkurang. Setiap tahunnya deforestasi dan degradasi hutan berada di angka 450 ribu hektare. ‪Kerusakan hutan memiliki dampak seperti bencana tanah longsor, kekeringan, banjir, global warming dan rusaknya lapisan ozon serta punahnya kekayaan flora dan fauna. Untuk itu hutan perlu dilindungi, dikonservasi dan direboisasi. Langkah utama yang diambil untuk mengurangi kerusakan hutan yakni dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan. Disamping itu, penindakan tegas juga harus dilakukan agar kerusakan hutan tidak meluas.


                                                                                  
        Gambar 1.Hutan rusak, terlihat hijau namun di tengahnya gundul.

Hutan Indonesia berkurang secara drastis, dalam kurun waktu 2009-2013 Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta. Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan tersebut dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 yang diluncurkan pada Kamis, 11/12/2014 di Jakarta. EG Togu Manurung, Ketua Perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan mengejutkan, karena setiap menit, hutan seluas tiga lapangan bola hilang. Hutan Indonesia yang tersisa kini 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatera, 8,9 juta hektar di Sulawesi, 4,3 juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu, kondisi perusakan hutan terparah terdapat di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Perkebunan kepala sawit serta sektor tambang berkontribusi besar pada kerusakan tersebut. Meski demikian, hutan di wilayah lain pun mengalami ancaman. Beberapa hutan di wilayah Papua sudah mengalami kerusakan.  Ini harus dicegah supaya pola yang terjadi di Indonesia barat tidak terjadi lagi di timur karena Papua benteng terakhir hutan Indonesia. Sementara, Christian Purba, Direktur FWI  mengungkapkan apabila praktik tata kelola lahan hutan tidak berubah dan pembukaan hutan terus dibiarkan, jumlah hutan akan terus menyusut. Diprediksi 10 tahun ke depan hutan di Riau akan hilang diikuti dengan Kalimantan Tengah dan Jambi.
                Laju deforestasi yang sedemikian besar tersebut antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting, dan penebangan kayu secara tidak sah (illegal logging), perburuan satwa liar tanpa izin, penjarahan, perambahan, okupasi lahan, dan kebakaran hutan. Laju deforestasi yang tinggi tersebut menghadirkan kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia. Kerusakan sumber daya hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan telah menimbulkan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sangat serius. Secara ekonomi kerugian yang timbul sebagai dampak kerusakan akibat pembalakan liar pasti jauh melebihi nilai kayu yang dibalak. Kerugian negara akibat pembalakan liar berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 30,3 triliun per tahun (Kompas.com, Selasa, 21 Juni 2011). Sementara  itu, sumber dari sindonews.com (21/02/2015) mengungkapkan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menjelaskan bahwa Kerusakan hutan di Indonesia mencapai 450 ribu hektare pertahun. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena masalah tersebut akan memicu bencana lain seperti pemasanan global. Para perusak hutan dianggap sama dengan kejahatan teroris, oleh sebab itu prilaku pembalakan hutan liar kita kategorikan sebagai kejahatan teroris.


Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Istilah pembalakan muncul karena kejahatan yang terjadi lebih kompleks antara lain adanya penebangan hutan dengan merusak alam yang disertai pula kerusakan ekosistem yang lain dan kegiatan itu dilakukan tanpa adanya ijin dari pihak yang berwenang. Serta adanya kegiatan mengangkut, menjual hasil hutan, serta keuntungan dari hasil penjualan digunakan untuk kegiatan pribadi, dimana kegiatan itu merugikan pemerintah.
Definisi lain dari Illegal logging atau pembalakan liar yaitu segala aktivitas yang berkaitan dengan penebangan kayu yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan pembalakan liar tidak berdiri sendiri, namun saling kait- mengait dalam suatu jaringan bisnis kayu ilegal yang melibatkan para pemodal (cukong) pembalak kayu, pengusaha transportasi kayu, pedagang kayu, industri pengolahan kayu, dan oknum aparat penegak hukum. Pembalakan liar meliputi semua tindakan ilegal yang berhubungan dengan ekosistem hutan, demikian juga industri yang berhubungan dengan hutan dan hasil hutan kayu serta non-kayu. Kegiatan tersebut merupakan tindakan yang melanggar hak-hak atas lahan hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh tahap pengelolaan hutan dan rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga penebangan dan pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan.



                                                                               Gambar 2. Peran Oknum Perusahaan                                          

Forest watch Indonesia dan Global Forest Watch berpendapat bahwa selain Illegal Logging ada juga istilah pembalakan liar, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak. Semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan, dan perdagangan kayu yang tidak sesuai  dengan hukum Indonesia. Pada hakikatnya, pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.. Dimensi dari kegiatan illegal logging, meliputi: (1) perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukumdibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan


                                                                                   Gambar 3. Illegal logging


Faktor- faktor Penyebab Pembalakan liar (illegal logging)
Praktek pembalakan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: (1) penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin, yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hutan, dan (2) penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan seperti melakukan penebangan di luar konsesinya (over cuting), melanggar persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam konsensinya, kolusi dengan penjabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan. Secara umum Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal:
1.   Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan. Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktik illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.
2.   Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.
3.   Masih lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktik illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Di samping itu, disinyalir adanya oknum pejabat yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal logging.
4.   Tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan, pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan.
Faktor-faktor penyebab lainnya terkait pembalakan liar (illegal logging) meliputi;
1.   Faktor- faktor yang berkaitan dengan nilai- nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa- desa sekitar hutan, dipengaruhi unsur-unsur; Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan, Pengaruh tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara illegal, Ketidakpuasaan lokal atas kebijakan kehutanan pusat, dan Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari.
2.   Faktor-faktor ekonomi yang suplai dan permintaan normal berkaitan dengan industri penebangan kayu dipengaruhi oleh unsur-unsur; Kebutuhan kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri dan permintaan kayu dari luar negeri, Kemampuan pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan, tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu dan Tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu.
3.   Faktor-faktor yang berkaitan dengan peran pengusaha dan pengaruhnya pada para politisi dan pejabat setempat. Bentuk pengaruh seperti; Keuntungan yang diperoleh dari pengusaha kayu, Besarnya pengaruh pengusaha kayu dan bos-bos penebangan tehadap penjabat lokal, Besarnya partisipasi penjabat lokal dan banyaknya kerja sama illegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau penjabat lokal.
Pelaku  Illegal Logging di Indonesia 
Bank Dunia mengungkapkan praktik pembalakan liar (illegal logging) di Indonesia dijalankan oleh mafia. Dari pembalakan liar itu, organisasi kejahatan tersebut mengalirkan sebagian keuntungannya kepada pejabat pemerintah yang korup. Hal itu terungkap dari laporan analisis Bank Dunia terbaru, bertajuk  Justice for Forests: Improving Criminal Justice Efforts to Combat Illegal logging yang dipublikasikan pada 21 Maret 2012. Selain Indonesia, praktik seperti itu terjadi di banyak negara, termasuk beberapa negara di Afrika Barat. Akibat pembalakan liar berskala besar, setiap tahun Indonesia kehilangan Rp36 triliun dan kebanyakan kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Luar Negeri.
Ada tiga jenis pembalakan illegal. Pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat, a.l;
1.   Masyarakat biasa
Masyarakat biasa kerap menjadi pelaku illegal logging. Masyarakat biasa yang dimaksud ialah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Biasanya, mereka akan memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, terutama kayu. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga melakukan illegal logging untuk membuka lahan sebagai tempat tinggal. Selain itu, masyarakat biasa juga dapat sebagai pekerja ataupun buruh di suatu perusahaan/organisasi.
2.   Kalangan Pejabat
Pejabat atau oknum pejabat dapat menjadi salah satu pelaku utama dan terpenting dalam kasus illegal logging. Karena mereka memiliki kekuasaan, sehingga adanya kekuasaan yang disalahgunakan, mereka dapat  memberi izin kepada para pelaku pembalakan liar untuk menjalankan aksinya. Selain itu, kalangan pejabat sering menjadi “protector” para cukong kayu untuk memuluskan aksinya. Hal inilah yang terkadang dapat membuat para cukong kayu terbebas dari jeratan hukum. Dari pemberian izin yang illegal ini, tentunya para pejabat terkait akan mendapatkan profit materi dari para cukong kayu perusahaan terkait.
3. Industri/Perusahaan
Para industri dan perusahaan biasanya bergerak dalam bidang manufaktur. Pada umumnya, alasan para industri/perusahaan melakukan Illegal Logging ialah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industry/perusahaannya. Mereka biasanya akan mengadakan kerja sama dengan kalangan tertentu untuk melancarkan aksinya. Tidak hanya perusahaan/industri skala kecil saja yang terlibat, bahkan beberapa perusahaan/industri skala besar juga turut melakukan illegal logging.  

Dampak-dampak  Illegal Logging
Pembalakan liar illegal logging adalah tindak kejahatan terhadap hutan yang merugikan negara, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial, dan lingkungan. Potensi kerugian yang ditanggung negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 tri­liun per tahun. Ironisnya, praktik pembalakan liar telah memus­nahkan hampir ti­ga perempat hu­tan alam di Indo­ne­sia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang da­lam setahun setara dengan luas negara Swiss, yakni 41.400 kilo­meter persegi. Dari sudut pandang sosial dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah, serta antara baik dan buruk.
Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu, sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi.
Secara luas dampak kerusakan sumber daya hutan akibat pembalakan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan, dapat mencapai titik puncak kerusakan hutan, a.l;
1.   Kepunahan berbagai varietas hayati
Illegal logging akan merusak bahkan menghilangkan habitat asli dari berbagai flora dan fauna. Dengan rusaknya habitat mereka, maka mereka akan kesulitan untuk melangsungkan kehidupannya, seperti kesulitan mencari makan akibat sumber makanan mereka yang ditebang, tidak adanya tempat untuk berkembang biak dan sebagainya. Contoh nyata ialah populasi orang hutan yang terancam punah, khususnya di Pulau Kalimantan yang diakibatkan illegal logging dan pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan sawit. Selain itu, populasi gajah Sumatera juga terancam punah akibat pembalakan hutan.
2. Menimbulkan Bencana Alam
Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin berkurang menyebabkan hutan tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang besar,sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah dan menyebabkan banjir, seperti bencana banjir bandang di Jakarta, Jambi, Aceh, Sumsel, dan daerah lainnya. Banjir yang setiap tahunnya terjadi karena kurangnya daerah serapan air akibat alih fungsi hutan menjadi pemukiman.
3. Menipisnya Cadangan Air
Salah satu fungsi hutan ialah tempat cadangan air. Dengan semakin maraknya illegal logging akan mengurangi eksistensi hutan, maka cadangan air bersih juga akan berkurang. Itulah sebabnya, di Indonesia sering terjadi kekeringan air khususnya pada musim kemarau.
4. Merusak Lapisan Tanah
Ketika eksistensi hutan menurun, maka hutan akan tidak optimal untuk menjalankan fungsinya menjaga lapisan tanah, sehingga akan memperbesar probabilitas terjadi erosi yang nantinya dapat mengakibatkan lapisan tanah hilang dan rusak.
5. Penyebab Global Warming
Global warming membawa dampak berupa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, seperti angin puyuh/puting beliung, terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya memprediksi cuaca yang mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia sering mengalami gagal panen. Global warming juga mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di kutub mencair yang mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperi hutan.
6. Berkurangnya Pendapatan Negara
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal logging mencapai Rp 35 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost).
7. Dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta masyarakat adat setempat. Sementara dari aspek budaya illegal logging dapat memicu ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang pada khirnya akan dapat merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.

Meminimalisir Illegal Logging di Indonesia
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas illegal logging disebabkan illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku/ buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang membackingi, sehingga praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan actor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang menjalankan kendaraannya yang ditangkap, sedangkan actor intelektual  sudah kabur.
Penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya monitoring (deteksi), upaya pencegahan (preventif), dan upaya penanggulangan (represif).
1. Deteksi illegal logging
Kegiatan-kegiatan deteksi mungkin saat ini telah dilakukan, namun walaupun diketahui atau ada dugaan terjadi kegiatan illegal logging tindak lanjutnya tidak nyata. Meski demikian aksi untuk mendeteksi adanya illegal logging tetap harus terus dilakukan, namun harus ada komitmen untuk menindaklanjuti dengan proses penegakan hukum yang tegas dan nyata di lapangan. Kegiatan deteksi dapat dilakukan melalui ; 1) Deteksi secara makro, misalnya melalui potret udara sehingga diketahui adanya indikator penebangan liar seperti jalur logging, base camp, dsb, 2) Ground checking dan patroli serta Inspeksi di tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar, 3) Deteksi di sepanjang jalur-jalur pengangkutan dan Inspeksi di lokasi Industri, 4) Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang datang dari masyarakat, dan 5) Pemeriksaan dokumen (ijin, angkutan dan laporan) perlu lebih intensif, terutama dokumen laporan dengan meneliti lebih seksama laporan-laporan yang mengandung kejanggalan-kejanggalan.
2. Prefentif illegal logging
Tindakan preventif merupakan tindakan yang berorientasi ke depan yang sifatnya strategis dan merupakan rencana aksi jangka menengah dan jangka panjang, namun harus dipandang sebagai tindakan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Model penegakan hukum dengan sistem komando dengan lebih meningkatkan koordinasi di antara aparat penegak hukum yang terlibat di dalam penanganan tindak pidana illegal logging merupakan salah satu langkah awal yang dapat ditempuh, selain melakukan inventarisasi akar masalah di lapangan, cakupan dan jaringan, maupun modus operandi pelaku harus dapat diinventarisir karena hal ini memudahkan untuk melakukan penangkapan dan melakukan langkah preventif terhadap penanggulangan untuk melakukan tindak pidana. Kegiatan preventif dapat dilakukan diantaranya melalui; 1) pemberdayaan masyarakat seperti pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan kepada pemerintah daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan, 2) Pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan program pemberdayaan masyarakat seperti menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/ pendapatan yang melebihi upah menebang kayu liar, 3) Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat memberikan informasi yang menjadikan oknum/pelaku kejahatan hutan dapat ditangkap.


3. Tindakan represif
Tindakan represif merupakan tindakan penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara masing-masing unsur penegak hukum yaitu penyidik (Polri dan PPNS), jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya permasalahan illegal logging, tindakan represif harus mampu menimbulkan efek jera, sehingga pemberian sanksi hukum harus tepat.
Beberapa upaya penanggulangan tersebut juga dapat didukung dengan a.l;
1.   Mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk dan pemodal. Selain itu, harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat penampungan kayu.
2.   Menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu. Upaya ini dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging. Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”. Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
3.   Pemerintah  melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendorong dan memperkuat peran pemda provinsi maupun kabupaten/kota serta sektor lainnya secara maksimal dalam menanggulangi illegallogging melalui peningkatan keterpaduan sinergisitas pembangunan kehutanan dan pembangunan wilayah.
4.   Memobilisasi berbagai sektor pembangunan untuk mengarahkan pembangunan pada daerah-daerah rawan illegal logging dan gangguan hutan lainnya, agar dapat meredam atau merealisasikan gejolak kebutuhan lapangan kerja dan usaha. Dilakukan pula pelibatan masyarakat sipil/LSM lingkungan dalam pemberantasan illegal logging dengan pendekatan kesejahteraan masyarakat melalui program social forestry dan collaborative management, yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat setempat.

Tindak Pidana Pembalakan Liar
Perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum. Peraturan perundang-undangan telah ada yaitu Undang-Undang  Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dianggap belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi, sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Selain itu, adanya penerapan tindak pidana terhadap kejahatan hutan sebagai kejahatan lingkungan hidup seperti yang telah dimuat dalam UU No,32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang juga memuat sanksi pidana dan denda terkait kejahatan lingkungan hidup.

 Berikut sekilas daftar tindak pidana dalam rumusan UU No. 18 Th 2013 ttg P3H;
 
Tabel 1. Kutipan Sekilas Tindak Pidana bidang kehutanan dalam UU No. 18 Th 2013 ttg P3H
Perbuatan Yang Dilarang
Sanksi Pidana
Perseorangan
Perseorangan Dalam/Sekitar Kawasan Hutan
Perusahaan
Pejabat
Menebang pohon dalam kawasan hutan:
a. tidak sesuai izin
    (Pasal 12 huruf a)
b. tanpa memiliki izin pejabat berwenang (Pasal 12 huruf b)
c. secara tidak sah
   (Pasal 12 huruf c)
Sengaja: Pidana Penjara
minimal  1 th maksimal 5 th serta denda
min Rp. 500 jt mak Rp.  2,5 M(Pasal 82 (1))
Pidana Penjara
minimal   3 bln maksimal 2 th  serta denda
min Rp.500 Rb
mak Rp.500 jt
(Pasal 82 (2))
Pidana Penjara
minimal   5 th maksimal 15 th serta denda
min  Rp. 5 M mak Rp. 15  M
(Pasal 82 (3))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki
hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin (Pasal 12  huruf d), mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yg tidak dilengkapi SKSHH; dan/atau (Pasal 12  huruf e)
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 th serta denda
min Rp. 500 jt mak Rp.  2,5 M(Pasal 83 (1))
Kelalaian:
Pidana Penjara
8 bln.  s/d  3 th. serta denda Rp 10 jt s/d 1M
(Pasal 83 (2))
-
Pidana Penjara
minimal   5 th maksimal 15 th serta denda
min  Rp. 5 M mak  Rp. 15 M
(Pasal 83 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar
(Pasal 12  huruf  h)
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 th serta denda
500 jt s/d 2.5 M
(Pasal 83 (1))
Kelalaian:
Pidana Penjara
8 bln.  s/d  3 th. serta denda Rp 10 jt s/d 1M
(Pasal 83 (2))
Sengaja/lalai:
Pidana Penjara
Minimal  3 bln maksimal 2 th serta denda min. Rp.500 rb mak. Rp. 1M (Pasal 83 (3))
Pidana Penjara
minimal   5 th maksimal 15 th serta denda
min  Rp. 5 M mak  Rp. 15 M
(Pasal 83 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
(Pasal 12 huruf f)
Sengaja: Pidana Penjara
1 s/d 5 tahun serta denda 250 jt s/d 5 M
(Pasal 84 (1))
Lalai Pidana Penjara
8 bulan s/d 2 th serta denda 10 jt  s/d  1 M
(Pasal 84 (2))
Penjara
3 bulan s/d 2 th dan/atau denda Rp.10 jt s/d 1M
(Pasal 84 (3))
Penjara
minimal 5 th maksimal 15 th serta denda min. Rp.2 M mak. Rp. 15 M (Pasal 84 (4))
Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok
(Pasal 107)
  Sumber: UU No. 18 Th 2013 ttg P3H
Khusus untuk pejabat yaitu orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa Setiap pejabat yang a.l; Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya; Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
PENUTUP
1.   Illegal logging merupakan salah satu kasus besar di sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia, karena telah menimbulkan dampak negatif yang secara langsung maupun tidak langsung  merusak keberlanjutan sumberdaya alam. Pembalakan hutan secara liar (illegal logging) merupakan gejala yang muncul akibat berbagai permasalahan yang sangat kompleks melibatkan banyak pihak dari berbagai lapisan di masyarakat lokal.
2.   Upaya penangganan kasus tindak pidana kehutanan yang telah dilakukan pemerintah dirasa masih sangat perlu dioptimalkan. Hal ini berdasarkan indikasi-indikasi antara lain; (1) Semakin tingginya laju kerusakan hutan, dan (2) proses penegakan hukum yang masih belum memiliki kemampuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku terutama (mastermind) dari tindak pidana illegal logging.
3.   Kegiatan preventif dapat dilakukan sebagai solusi jangka panjang meliputi; 1) pemberdayaan masyarakat seperti pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan kepada pemerintah daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan, 2) Pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan program pemberdayaan masyarakat seperti menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/pendapatan yang melebihi upah menebang kayu liar, 3) Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat memberikan informasi adanya oknum/pelaku kejahatan hutan dan lingkungan hidup.
4.   Pemberantasan illegal logging bukanlah tanggung jawab aparat keamanan dan pemerintah pusat/daerah saja, namun seluruh komponen lapisan masyarakat termasuk dunia usaha/korporasi. Masyarakat bisa menjadi kontrol sosial dan berpartisipasi aktif dalam memberantas illegal logging. Oleh sebab itu, semua pihak harus berperan dalam meminimalisir illegal logging, karena tanpa kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat, maka kejahatan hutan akan sulit untuk diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA
Dodik Ridho Nurrochmat dan M. Fadhil Hasan, Ekonomi Politik Kehutanan, Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan, Indef 2012.
Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 – 2009, Edisi Pertama 2011.
Statistik Kehutanan Indonesia 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta 2012.
Suparmoko, M., Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekaan Teoritis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada, BPFE-Yogyakarta, 2012.
Teguh Sudarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal logging, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 17 Januari 2010.